Langsung ke konten utama

PIDANA MATI BAGI JULIARI BATUBARA, APAKAH BISA?


Belakangan ini terdapat kasus yang sangat menyita publik. Lagi-lagi salah satu kabinet Indonesia Maju yaitu Ex-Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi pengadaan bantuan sosial (Bansos) penanganan COVID-19.

Selain menangkap Ex-Menteri Sosial Juliari Peter Batubara, KPK turut menjerat pejabat Kemensos dan sejumlah pihak yang menjadi pemberi suap. Permasalahan utama dalam kasus yang menyangkut nama menteri ini adalah tentang ancaman pidana mati yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apakah pasal tersebut dapat menjerat Ex-Menteri Sosial Juliari Peter Batubara?

Korupsi merupakan perbuatan yang sangat keji yang biasanya dilakukan oleh penyelenggara negara dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum dan menimbulkan adanya kerugian negara. Korupsi menurut Black Law Dictionary merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya, sesuatu perbuatan dari suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya.

Menurut Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yanga ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pemberantasan dalam tindak pidana korupsi beserta jenis-jenis tindakannya diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Terkait dengan kasus korupsi Ex-Menteri Sosial Juliari P. Batubara, perkara tersebut berawal dari pengadaan bansos penanganan COVID-19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp 5,9 Triliun. Total kontrak yang diperoleh sebanyak 272 kontrak dan dilaksanakan dalam dua periode. Ex-Mensos ini menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam melaksanakan proses tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan.

KPK sebagai pihak yang berwenang untuk menyelidik menemukan adanya kesepakatan fee dari setiap paket sembako yang disetorkan pada rekanan pada Kemensos melalui Matheus. Fee dari setiap paket sembako atau paket bansos disepakati sebesar Rp 10.000,00 per paket dari nilai Rp 300.000,00 per paket yang diterima oleh Juliari. Bulan Mei hingga November, Matheus dan Adi kemudian membuat sebuah kesepakatan melalui kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan, yang di antaranya Ardian I. M., Harry Sidabuke dan juga PT Rajawali Paranama Indonesia yang diduga milik Matheus.

Pada pelaksanaan paket bansos periode pertama, fee sebesar Rp 12 miliar diterima oleh Juliari yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus melalui Adi dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar. Pemberian uang tersebut dikelola oleh Eko dan Shelvy sebagai orang kepercayaan Juliari sekaligus menjabat sebagai Sekretaris di Kemensos.

Uang tersebut digunakan Juliari untuk membayar beberapa kebutuhan pribadi. Dalam periode kedua pelaksanaan paket sembako tersebut, terkumpul uang fee dari bulan Oktober – Desember 2020 yang totalnya mencapai Rp 8,8 miliar yang diduga uang tersebut juga digunakan Juliari untuk kepentingan pribadi. Menurut KPK, Juliari disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Dilansir dari cnnindonesia.com)

Pertanyaan yang selalu disampaikan oleh publik, mengapa KPK tidak menjerat Juliari P. Batubara menggunakan Pasal 2 yang dimana terdapat sanksi pidana mati dalam pasal tersebut? Mengapa KPK lebih memilih menjerat Juliari P. Batubara menggunakan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b UU Tipikor?

Pasal 2 UU UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.

Pasal 12 huruf a dan b UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

Wakil ketua KPK, Nurul Ghufron, dalam acara ILC (Indonesia Lawyer Club) menyampaikan beberapa gagasan dan argumennya mewakili institusinya mengenai penggunaan Pasal 12 huruf a dan b. Beliau menyampaikan bahwa karena faktanya yang disebut memperkaya diri secara melawan hukum adalah peristiwa atau perbuatan penyelenggara negara yang merugikan keuangan negara yang dananya langsung didapatkan dari APBN.

Akan tetapi, dalam kasus ini uang dari APBN sudah ‘mengucur’ kepada rekanan atau partner dalam pengadaan bansos. Lalu, uang dari rekanan tersebut sebagian diberikan kepada Ex-Mensos berupa kick-back dan hal tersebut disebut penyuapan, bukan tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Jika APBN dicairkan kepada seseorang sebagai rekanan, dan sebagian diberikan kepada penyelenggara negara oleh rekanan maka hal itu dapat dikatakan sebagai penyuapan atau gratifikasi. Namun, beliau menegaskan bahwa peristiwa atau kasus ini dapat berkembang seiring proses penyelidikan dan tidak menutup kemungkinan bahwa KPK akan menjerat menggunakan Pasal 2 UU Tipikor, hal itu tergantung pada bagaimana pembuktiannya apakah terdapat kesepakatan antara Ex-Mensos dengan partner atau rekanannya. Itulah sebabnya untuk saat ini KPK menggunakan Pasal 12 huruf a atau b dalam menjerat Juliari P. Batubara.

Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM (Menkopolhukam) Mahfud M.D. juga menyampaikan gagasan atau pendapatnya mengenai penggunaan pasal tersebut. Menurut beliau, jika korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu sesuai dengan bunyi Pasal 2 ayat (2) memang bisa dijatuhi hukuman mati. “Keadaan tertentu” menurut Mahfud ada empat jenis yang memang tidak secara langsung bisa diterapkan dalam kasus ini. Pertama adalah keadaan bahaya, namun saat ini Indonesia masih tidak bisa dikatakan dalam status bahaya.

Kedua adalah sedang terjadi bencana alam nasional, saat ini pemerintah sudah menyampaikan bahwa COVID-19 merupakan bencana non-alam. Ketiga adalah negara dalam keadaan krisis ekonomi dan krisis moneter. Saat ini negara sedang resesi yang secara teknik tidak sama dengan krisis ekonomi. Resesi adalah keadaan dimana pertumbuhan ekonomi di suatu negara mengalami minus dua kuartal berturut-turut. “Mungkin ketua KPK masih sulit dalam menafsirkan ‘keadaan berbahaya’ ini, oleh karena itu KPK mendakwakan menggunakan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11”, kata beliau.

Jadi, pihak KPK berpendapat bahwa penjatuhan Pasal 2 kepada Juliari P. Batubara masih belum bisa diterapkan saat ini karena proses penyelidikan yang masih berlangsung. Sehingga, KPK untuk sementara waktu berdasarkan temuannya masih menjerat Julari P. Batubara menggunakan pasal penyuapan yaitu Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kita sebagai warga negara juga wajib untuk mengawasi kinerja dari KPK dalam kasus ini karena kasus ini merupakan kasus yang sangat keji. Semoga KPK dan aparat penegak hukum yang bekerja bisa mengungkap kasus ini dan menjerat para koruptor pengadaan bansos COVID-19 seadil-adilnya sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

  DJOKO TJANDRA: KRONOLOGI DAN FAKTA KASUS           Menurut perspektif hukum, definisi korupsi telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (sati milyar rupiah)”. Untuk menyimpulkan apakah perbuatan tersebut termasuk perbuatan korupsi harus memenuhi unsur-unsur seperti: 1.   Setiap orang atau korporasi; 2.   Melawan hukum; 3.   Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;

Pemakzulan Bupati Jember Faida, Bisakah Dilakukan?

DEFINISI PEMAKZULAN Kata “pemakzulan” sudah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat saat ini khususnya masyarakat Kabupaten Jember sejak Bupati Kabupaten Jember dimakzulkan dikarenakan beberapa pelanggaran yang dilakukannya selama menjabat selama satu periode ini. Lantas apa arti pemakzulan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemakzulan berarti proses, cara, atau perbuatan memakzulkan. Sementara arti makzul yakni berhenti memegang jabatan atau turun takhta. Sehingga, arti pemakzula yaitu proses, cara, atau perbuatan untuk menurunkan seseorang dari jabatannya atau takhta. Dalam hal ini memakzulkan Bupati Jember Faida adalah menurunkannya dari jabatan sebagai Bupati yang dilakukan oleh DPRD Jember. KRONOLOGI PEMAKZULAN BUPATI JEMBER Kisruh pemakzulan Bupati Jember Faida disebut tak lepas dari pengelolaan anggaran yang menabrak prosedur dan berjalan sendiri tanpa sepengetahuan dan pengawasan DPRD Kabupaten Jember. DPRD Kabupaten Jember memakzulkan Bupati Fai